Kamis, 08 Januari 2009

RUANG KONTEMPLASI

Lho, Mana Diriku ?

Pernahkah Anda mendadak terhenyak dan terucap pertanyaan - “Lho mana diriku?”
Kalau Anda seorang yang ‘lugu’, awam dan apa adanya, yang Anda rasakan adalah semacam ada sesuatu yang hilang, keselip atau ketelingsut dari diri Anda. Semacam rasa terpencil, rasa terisolasikan, terbuang entah ke mana; baik oleh keriuhan dunia di sekitar Anda maupun terbuang dari diri Anda sendiri. Semua itu terasa sebagai semacam kegetiran kecil yang bersifat sangat pribadi.
Atau kalau Anda seorang yang suka usil terhadap pemikiran, perenungan dan pencarian -maka pertanyaan Anda akan berkembang: “Siapakah sebenarnya diriku? Yang hilang itu diriku yang mana, dan siapa pula diriku yang lain yang merasa kehilangan? Jadi berapakah diriku? Ada yang kehilangan, dan ada yang hilang, sementara kayaknya ada juga diriku yang lain yang menyaksikan diri yang hilang serta diri lain yang kehilangan itu?”
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu kita memerlukan ‘ajaran’. Di persekolahan modern, tidak bisa kita jumpai ‘ajaran’. Ilmu jiwa, atau psikologi, hanya memberi sejumlah panduan untuk memahami sedikit ‘gejala kejiwaan’, bukan ‘jiwa’. Padahal yang kita perlukan mungkin pengetahuan yang jelas mengenai ruh, ‘nafs’, sukma, nyawa, dan lain sebagainya. Bukan hanya apa dan siapa si ruh, bukan hanya hakekat dan wujudnya, tapi juga asal muasal dan tujuan perjalanannya alias ‘sangkan paran’nya.
Kebanyakan manusia sampai saat matinya tidak terlalu mempersoalkan hal-hal semacam itu. Umumnya orang menempuh perjalanan hidupnya tanpa pertanyaan yang mendasar mengenai dirinya. Yang penting bagi seseorang adalah apa yang dimilikinya, dan jika ‘diri’ dianggap sesuatu yang penting untuk dikenali dan dipahami atau dicita-citakan, maka biasanya pemenuhannya cukup menyangkut lapisan yang paling permukaan dari ‘eksistensi diri’: yakni misalnya identitas sosial, profesi atau inisial-inisial praktis di dalam peta sejarah lingkungannya.
Akan tetapi ketika manusia, sekumpulan orang atau suatu masyarakat memilih suatu jenis kebudayaan atau peradaban yang telah meredusir hakekat takdiri kediriannya, maka pertanyaan-pertanyaan semacam itu akan menjadi ‘topik’ utama kosmos psikisnya. Jika seseorang terlalu hanya memahami dan memenuhi lapisan biologis dan materialistik dari dirinya, maka ‘jiwa dalam’ atau hakiki ‘ruh’nya akan dengan sendirinya melakukan pemberontakan-pemberontakan terhadap dirinya sendiri. Dalam bahasa sehari-hari orang mengenal ‘nafkah lahir batin’. Kalau lahir dipenuhi, batin juga memintanya. Menahkahi lahir mungkin gampang; bekerja keras menumpuk uang dan harta benda, melambungkan dan memegahkan eksistensi sosial, dengan cara yang wajar dan baik-baik maupun melalui cara-cara destruktif seperti korupsi, manipulasi, penindasan, dan lain sebagainya. Tetapi memenuhi nafkah batin sangatlah tidak gampang. Tidak cukup sembahyang dan naik haji, tidak cukup bersedekap di gereja dan bersila di kuil.
Menafkahi batin mungkin saja bisa gratis: menerima dan mengakui kehadiran seorang Nabi beserta Kitab Suci yang dititipkan oleh Tuhan melaluinya. Bisa juga sangat mahal: mempersembahkan 50% pendapatan ekonomi kepada guru Harekreshna, Bhagawan, Sung myung Moon, David Korsh atau Ashara. Bahkan untuk pemenuhan nafkah batin yang lebih mendalam dan mendasar, barangkali diperlukan pemboman dan penghancuran dunia. Kita bom gedung-gedung, kita sebulkan gas beracun, kita hancurkan segala yang kita yakini untuk dihancurkan, karena kita memerlukan manifestasi atas hakekat hidup yang kita genggam erat-erat.
Ribuan sekte, aliran ‘sempalan’, kultus-kultus, sub-sub mazhab yang fundamentalistik dan estrem, yang tumbuh menjamur di belahan bumi sebelah utara­ -yakni di negeri-negeri berperadaban (yang mengaku) tertinggi di dunia- oleh sebuah teori yang disebut sebagai gelombang “the searching of the soul”. Suatu arus pencarian jiwa di tengah suatu peradaban yang (karena itu diasumsikan sebagai) tidak berjiwa, atau sekurang-kurangnya suatu peradaban yang mampu memperhatikan dan menganaktirikan jiwa manusia.
Ketidakberdayaan peradaban manusia itu ditandai oleh misalnya optimalitas materialisme, oleh ketidasanggupan ilmu-ilmu modern memahami siapa sebenarnya yang bernama manusia, serta oleh ‘rutinitas peradaban’. Anda tahu pasti first wafe (Toffler) yakni gelombang pertanian: sebuah benda atau penermuan tidak berubah sampai puluhan abad. Tapi pada second wave dan third wave, pada industri dan informatika: perubahan-perubahan berlangsung bukan saja sangat cepat, tapi juga terlalu cepat, dalam arti sampai pada tingkat yang tak tertanggungkan oleh irama mentalitas manusia. Cultural shock pada gelombang industri dan informatika merupakan snack sehari-hari karena setiap saat didominasi oleh perubahan-perubahan, sehingga kehidupan umat manusia senantiasa berlangsung dalam situasi terguncang.
Di tengah dua jenis gelombang itu manusia bukan lagi makhluk innosen yang lahir untuk mendambakan kebahagiaan dan ketentraman jiwa dalam arti sederhana. Manusia bekerja sangat keras untuk menghidupi gaya-gaya, kemewahan dan tahayul, serta memanggul beban-beban psikologi artifisial serta keruwetan teknologi beserta ekonomisme benda-benda yang meruwetkan politik dan mengusir Agama -untuk pada akhirnya mereka kehilangan jejak atas dirinya sendiri.
Di tengah dua gelombang itu manusia semakin berilmu tetapi juga semakin bego dan bodoh. Manusia semakin detail memahami demokrasi dan hak asasi, tapi sekaligus juga semakin brutal dan kanibal di antara sesama mereka. Manusia memuncakkan kesanggupan untuk memproduk konsumsi-konsumsi, namun itu semua sama sekali tidak mengenyangkan mereka.
Manusia tidak saling percaya satu sama lain. Tidak percaya kepada segala kepemimpinan dalam sejarah. Tidak percaya kepada politik, kepala negara, kepala parlemen dan perwakilan, kepada fenomena-fenomena apapun; bahkan tidak percaya kepada segala ilmu-ilmu yang baku serta segala kabar berita mengenai kesejahteraan dan kebahagiaan dari lembaga-lembaga sejarah yang mapan.
Maka tibalah mereka pada dua tahapan arus besar sejarah kekosongan. Pertama tahapan dekonstruksi (yang pada mulanya hanya berlangsung psikologis), yakni tindakan ‘rohani’ untuk menegasikan hampir apapun saja yang mapan. Mereka seperti berada di dalam kapal raksasa sejarah di atas samudera yang bergolak dan mengguncang-guncang. Mereka memutuskan untuk kelaura dan melompat ke laut: dan sesudah itu yang mereka butuhkan cukuplah sebilah papan untuk bertahan dari guncangan samudera. Papan itu mereka pegangi sangat-sangat erat dengan seluruh jiwa raga mereka.
Tahap kedua adalah melihat kapal besar itu sebagai penipu. Dan penipu mesti dihancurkan. Pertama-tama mungkin mereka sekedar secara membabi buta melemparkan sampah apa saja ke dinding kapal. Tapi kalau segala sesuatunya dipersiapkan, mereka bisa akan bergerak untuk menempelkan bom dan meledakkannya agar kapal raksasa sejarah yang tidak bisa dipercaya itu menjadi hancur lebur.
Apakah itu “the searching of the soul?” Apakah itu proses pencarian jiwa?
Sesungguhnya sekte-sekte itu mengulani kesalahan yang sama dari sikap peradaban yang dilawannya. Peradaban materialisme lebih memahami manusia pada benda dan gejala sosialnya, sehingga tatkala sang Jiwa memanggilnya, mereka memelototkan mata ke luar diri mereka ­-padahal sang Jiwa itu memanggil-manggil dari kedalaman diri mereka sendiri. Engkau lacak tuhan di luar, padahal Ia menunggumu di dalam.
Sekte-sekte itu paralel dengan gelombang HIV, di mana raksasa peradaban modern tidak bisa ditaklukkan oleh politik-ekonomi-militer-kebudayaan tetangga-tetangganya, melainkan akan dihancurkan dari dalam dirinya sendiri.
Kalau kekuatan-kekuatan besar belahan bumi utara tidak bergerak menuju kejujuran dan pemurnian sikap terhadap ‘firman sejati’ Tuhan maka kehancuran semacam itu memang sudah menunggu.

Tidak ada komentar: